Senin, 01 Oktober 2012

mediator durhaka


Sudah menjadi kebiasaan keluarga gue untuk mendiskusikan segala sesuatu. Baik itu hal kecil seperti berapa kali seseorang boleh mengguyur bekas pipisnya, sampai ke hal besar seperti penentuan jadwal jaga toko. Semua hal itu didiskusikan secara serius di ruang keluarga.

Tiap anggota keluarga diberi kesempatan memberi usulan atau tanggapan atas kasus yang terjadi. Meski Demokratis, Diskusi enggak selalu berjalan damai dan aman. Gue merasa selalu dikucilkan dan kurang didengar. Gue sih maklum, toh sekarang jamannya “rakyat memilih, pemerintah yang menentukan” ,RIGHT…* tapi gue beruntung, seenggaknya gue berhasil menghasut mereka untuk menggunakan shampoo dee-dee rasa strowberry sebagai pilihan shampoo keluarga. Nb : yang rasa strowberry rasanya enak  

Posisi gue didalam keluarga sebenarnya lebih condong sebagai penengah daripada si pengambil keputusan, bahasa kerennya ‘mediator’. Gue sama sekali engak bangga jadi mediator, meski nggak sesulit memancing lele di samudra, mengontrol emosi papa dan menjinakkan amarah mama sama sekali bukan hal yang mudah.  Apalagi kalo hal ini menyangkut masalah keputusan BISNIS (UANG).

Buat kalian yang belum tahu dan PINGIN jadi seorang mediator, gue punya sedikit pengalaman untuk dibagikan.

1. Untuk menjadi penengah, Mediator lebih dulu HARUS tahu apa permasalahannya. Contohnya masalah order barang, ditempat gue masalah ini sering banget muncul. Ada sales minuman datang kerumah, niatnya nawarin produk baru. Biasanya pihak pertama (papa) dan pihak kedua (mama) beradu mulut sebelum memutuskan membeli produk sales tadi. Disinilah seorang mediator dibutuhkan.  

2. Seorang mediator KUDU tahu karakter kedua belah pihak. Misalnya papa, dia tipikal pria paruh baya yang hobby menimbun barang, lebih suka menimbun barang dan menjualnya ketika harga naik. Mama kebalikannya, hampir semua sales ditolak dengan alasan “barangnya masih banyak/barangnya gag laku”, tipikal orang rapi dan nggak suka menimbun barang.

3. Mediator itu penyelamat hidup SALESMAN. Pernyataan ini memang agak ekstrem, tapi gue benar-benar mengalaminya.

Waktu itu kami kedatangan JUKIR dari produk minuman X  membawa satu truck minuman yang enggak jelas PEMESANNYA. Belakangan diketahui kalo yang mengorder minuman X itu adalah seorang salesman bernama Dwi, dan masalahnya produk itu bukan kami yang memesan tetapi atas kelancangan si salesman yang DIDUGA lagi gila mengejar target. Perdebatanpun dimulai.  

Mama-papa berdebat seru. Papa beragumen kalo produk yang dikirim itu produk yang laku keras di pasaran. Tapi mama menolak mentah – mentah barang yang mubazir dikirim itu.   

“terima aja, toh produk ini cepet LAKU” papa beragumen.

“iya tahu. Tapi STOK barang di gudang masih BANYAK”

“alah gag papa, bentar lagi juga habis” papa bersikeras.

“ah. Selalu aja keras kepala, telepon SARAS aja” mama lalu mengambil hp dan memencet tombol 008.

Sedetik kemudian gue muncul lengkap dengan atribut SARAS plus rambut palsu. “tenang buk, saya sudah datang. Mana musuhnya, bulu ketek gue mumpung belum dikeramasin??”

Enggak ding, intinya gue dipanggil dan dimintai pendapat. Bagi gue, menengahi sebuah konflik bukanlah hal yang sulit. Dulu gue pernah menengahi temen yang berebut pacar, kalo ketemu bawaannya rebut dan baku hantam. Dari pada ntar main bunuh – bunuhan gue berinisiatif menengahi masalah ini dengan cara memacari cewek yang dijadiin rebutan.

Jangan berburuk sangka duluLiat segi positifnya. Cara itu ampuh ngebuat mereka bersatu lagi. Meski bersatu buat NGEBUNUH gue.

Dan kali ini gue harus jadi mediator papa-mama. Dan jujur ini lebih sulit dari perkiraan gue. Salah dikit gue bakal nggak dapat uang jajan setahun atau sarapan telur basi selama setahun. #ekstrem

“mending diterima aja ma. Toh ntar bayarnya kredit kan” usul gue (setelah disogok papa).
Setelah perdebatan yang cukup lama, mama akhirnya luluh juga “POKOKNYA kalo DWI nagih, bakalan mama marahi. AWAS AJA SAMPAI BERANI DATANG”

Dan hebatnya, keesokan harinya DWI dengan tampang enggak bersalah, nongol di depan toko nagih pembayaran minuman kemarin. GUE SYOK. Beruntung waktu itu mama lagi pergi ke pasar, jadi punya kesempatan buat ngusir dia. Dengan ringkas dan padat gue jelasin kejadian kemarin yang bisa merenggut nyawanya. *bagian ancaman mama gue SEDIKIT lebay-lebaykan.

Alhasil dia takut dan cepet-cepet cabut dari toko. Sudah hampir satu bulan dia nggak nunjukin batang hidungnya. Mungkin gue terlalu membesar – besarkan masalah KEMARAHAN mama. Bagi Dwi saat ini, mungkin mama dianggap sebagai sosok sumanto yang mengancam nyawanya, berada di dekat mama hanya akan membuat tangannya patah dan hidungnya pesek. Kasus ini membuat gue merasa durhaka sebagai anak.

NB : seenggaknya ada nilai positif yang bisa diambil. “GUE jadi tahu caranya nunggak bayar tagihan”